Minggu, 26 April 2009

Kontroversi Kiayi

Kiyai, maunya apa…..

(sebuah ijtihad mencari peran kiai di era transisi politik di Indonesia)

By : My

(sekedar) Antaran

ADA apa dengan kiai? Pertanyaan sederhana ini (mungkin masih) menarik untuk diperbincangkan berkaitan peran dan fungsi kiai yang kian hari semakin ’meluas’, dari ranah ‘domestik’ ke arus politik (praktis), dari teologis ke pragmatis. Kiai adalah status sosial elit (minimal ditingkat lokal) yang mempunyai kedudukan terhormat dan mempunyai pengaruh dalam mewarnai kehidupan masyarakat. Kerapkali kiai dijadikan referensi legitimasi hukum agama dan kebijakan pemerintah sebagai indikator peran strategis kiai dalam masyarakat kehidupan sosial.

Tentu pilihan-pihan peran kiai seperti diatas mengundang pro dan kontra tergantung dari perspektif mana memandang. Secara prinsip, kiai[1] (dalam konteks ini kedudukan dan fungsi kiai sama dengan ulama’) adalah pewaris para nabi, sehingga secara teologis kiai dalam kehidupan keseharian sesuai dengan tuntutan nabi. Kehadiran kiai di tengah masyarakat yang mempunyai status sosial tinggi tidak hanya dikarenakan ke’aliman ilmu agama namun juga didukung wibawa serta keturunan. Ketiga syarat tersebut tidak dapat dipisahkan karena antara satu dengan yang lain saling berkaitan.

Alhasil, dimanapun saja dan dalam perspektif apapun peran kiai akan diperhitungkan oleh masyarakat termasuk penguasa. Hal ini dikarenakan kiai lahir tanpa ada konspirasi dengan masyarakat apalagi penguasa sehingga posisi kiai independen. Posisi inilah yang membawa kiai disegani dan menjadi panutan semua pihak, dus fatwa dan taushiyah kiai didengarkan yang kemudian dipatuhi.

Apakah peran ideal dan posisi kiai diatas kini tinggal kenangan? Mungkin fenomena ini menjadi embrio lahirnya buku KIAI di Tengah Pusaran Politik antara Petaka dan Kuasa. Menarik mengkaji buku ini karena sang penulis bung Ibnu Hajar adalah seorang santri yang secara realitas sosial di Madura masih tabu santri meng’kritik’ secara terbuka kepada kiai. Apakah kehadiran buku ini sebagai rasa cinta seorang santri kepada kiai atau ada perspektif lain, wallahu a’lam.

Peran Ganda Kiai

Secara konseptual, terminologi kiai diperkenalkan oleh Cillford Geertz[2] pada tahun 1960 yang kemudian menghasilkan banyak penelitian serupa seperti antropolog Belanda Martin van Bruinessen[3], Zamakhsyari Dhofier[4], Peneliti Jepang Hiroko Horikoshi[5], Azyumardi Azra[6] dan masih banyak lainnya.

Fenomena peran kiai dalam politik telah di kemukakan oleh Geertz yang disebut cultural broker (makelar budaya) bahwa kiai mempunyai peran sosial sebagai ’mediator’ dalam menghadapi persoalan sosial yang terjadi saat itu dengan menggunakan kekuatan agama dan kharisma yang dimiliki kiai, meskipun image yang nampak pada waktu itu secara politis kiai dikategorikan sebagai sosok yang tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan profesional. Studi lain yang dilakukan penulis[7] yang menunjukkan kiai Annuqayah Guluk-Guluk mempunyai peranan kuat membangun dinamika politik dalam penguatan civil society. Demikian juga Horikoshi (1978), yang menunjukkan kekuatan kiai sebagai sumber perubahan sosial, bukan saja pada masyarakat pesantren tapi juga pada masyarakat di sekitarnya.

Peran ganda kiai – sebagai pengayom masyarakat melalui pesantren dan sisi lain masuk ke ranah politik praktis mempunyai beberapa makna/alasan; pertama secara teologis tidak ada aturan yang melarang kiai aktif dalam politik karena nabi Muhammad dalam menjalankan pemerintahan dan penguatan syiar Islam tidak lepas dari politik ketata negaraan. Namun apakah benar kiai aktif di politik berlandaskan nilai teologis untuk kemajuan umat atau semata pragmatisme kekuasaan. Kedua, sejarah di bumi pertiwi ini saat orde baru berkuasa hak-hak politik kiai nyaris diberangus (hegemoni) sehingga peran politik kiai diambil alih oleh satu kekuatan negara sehingga kesan yang muncul kiai sebagai bamper status quo. Nah, munculnya kiai dalam politik di era reformasi ini sebagai angin segar (euforia) untuk aktualisasi diri, sehingga banyak kiai bermunculan di banyak partai (ket: saat orde baru berkuasa kiai dikungkung di PPP).

Terlepas dari perdebatan perselingkuhan nilai teologis dan ideologis, sejarah perjuangan mencatat bahwa kiai punya andil besar memerdekakan republik ini sehingga semakin menguatkan pembicaraan kiai tidak lepas dari politik. Bagi penulis politik tidak hanya berkutat pada partai dan (rebutan) jabatan pemerintahan namun praktik pengawalan (advokasi) terhadap masyarakat yang sedang mengalami masalah sosial seperti pelanggaran HAM dan problem sosial lainnya seperti kelaparan, kekeringan dan gempa bumi adalah bagian terkecil peran sosial politik.

Lalu bagaimana masyarakat (termasuk penulis) memandang ketika banyak kiai berjihad masuk ke ranah politik praktis yang memperlihatkan peran ganda, maka akan menimbulkan gesekan opini masyarakat kepada kiai. Dalam satu perspektif setuju gerakan kiai bermain di kancah politik karena bagian dari hak asasi manusia namun dalam perspektif lain masyarakat (termasuk penulis) mengĕmani kiai berpolitik bila tidak di modali dengan kemampuan yang cukup baik secara konseptual, niat dan minimnya pengalaman politik yang berakibat tidak maksimal dalam melaksanakan tugas bahkan begitu mudah dikibuli oleh sebuah sistem sehingga akan muncul distrust masyarakat kepada kiai, apakalagi bila sang kiai tersandung masalah hukum. Kalau fenomena ini benar-benar terjadi, kepada siapa masyarakat mengadu?!



[1] Penulis memandang kiai dan ulama’ berbeda meski memiliki peran sosial yang sama. Kiai bagi orang Madura adalah seseorang yang dianggap sebagai tokoh (baca : pangaseppo) ditingkat lokal seperti guru ngaji, imam masjid bahkan dukun yang mempunyai kelebihan urusan kelnik juga di sebut kiai. Sedangkan ulama adalah seseorang yang mempunyai kealiman ilmu agama, wara’, ahli dzikir dan berbasis massa seperti mempunyai pondok pesantren. Penulis juga meyakini status sosial ulama’ lebih tinggi dari kiai, setidaknya secara formal di Indonesia ada MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) bukan MKI (Majelis Kiai Indonesia), namun bagi Hiroko Horikoshi kiai dan ulama ada perbedan dimana kiai cenderung bermain pada tataran kultural sedangkan ulama lebih memerankan fungsi-fungsi administratif.

[2] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998) dan Kitab Kuning (Bandung:Mizan, 1995).

[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. (Jakarta: LP3ES, 1985).

[5] Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3M, 1987)

[6] Azyumardi Azra,Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII,(Bandung: Mizan, 1998),. Buku ini membahas jaringan intelektual para ulama di Indonesia dan Timur Tengah.

[7]M. Ali Al Humaidy, 2002, Pesantren dan Civil Society (Mengkaji Pesantren sebagai Social Capital dalam penguatan Civil Society). Di Annuqayah Guluk-guluk para pengasuh berlainan partai; KH. A Warits Ilyas Ketua DPC PPP, KH Ahmad Basyir Ketua Dewan Syuro PKB , KH. Mahfudz Khuzaini PBB, KH Muhsin Amir PKU dan KH. Ishomuddin Ketua Syriah NU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar