Minggu, 26 April 2009

D A H N Y O N T R E N G …

RAKYAT DAPAT APA….. ?

Pertanyaan diatas sepantasnya menjadi sebuah keniscayaan yang lahir dari seluruh benak rakyat Indonesia, dimana pada tanggal 09 april 2009 kemarin telah memberikan hak pilih mereka dalam rangka turut andil menyukseskan pesta demokrasi episode kedua setelah episode pertama tanggal 05 April 2004 dulu telah usai dan hanya tinggal catatan usang para penulis sejarah, disini rakyat juga menentukan arah dan kiblat bangsa harus kemana dan di kemanakan yang tentunya juga terkait dan terikat erat dengan nasib kita sebagai rakyat Indonesia. Babak pemilihan CALEG sudah kita jalani bersama dan untuk selanjutnya kita akan dihadapkan pada babak PEMILU PRESIDEN pada tanggal 07 juli 2009 nanti yang pastinya tidak akan kalah seru dan rumitnya dengan PEMLEG kemarin. Seutas senyuman dan secercah harapan ter-ekspresi dari wajah Indonesia yang telah berdiri tegak dilautan demokrasi lepas yang dipenuhi dengan pekikan hiroik, perasan otak, kurasan otot bahkan bentrokan dalam rangka memenangkan pertarungan politik antar PARPOL yang menjadi kontestan ajaib dalam PEMILU 2009 ini. Gendrang dan genta perang politik ditabuh pada masa kampanye, segala bentuk manufer dilakukan oleh PARPOL melalui mulut-mulut JURKAM dan CALEGnya ataupun para antek-antek suksesnya untuk mengobral janji-janji dan memperjual-belikan program-programnya serta melacurkan esensi dan eksistensi pada atau atas nama konstituen, hingga jalan raya, gang-gang kecil sampai pada pelosok desa terkucilpun tak lepas dari poster-poster para CALEG dan Partai yang sangat setia menjadi penunggu jalanan dan pepohonan.

PEMILU 2009 ini, dengan system yang sudah terlanjur baru, diharapkan mampu menciptakan sebuah kerangka atau rancangan bangunan yang ideal dalam menata-rias keberlangsungan hidup rakyat yang tingkat keterpurukannya semakin cepat akibat dari satu embrio krisis melacu kilat ke krisis multidimensi. Peran vital PARPOL dalam khotbah-khotbah kampanye-nya berfungsi sebagai media komunikasi dan informasi yang mempunyai siknifikansi kuat dalam menggiring rakyat ke ranah pendidikan politik praktis. Namun justru yang ter-akumulasi kepermukaan pada kampanye pemilu 2009 ini adalah rakyat di setting pada Pesta Money Politik (kalau pemilu 2004 dulu saya lihat lebih pada fanatisme figure) yang tentunya praktek semacam ini tidak rasional dan tidak profesional dan kotor, Sebab didalamnya terdapat transaksi atau jual beli symbol primordialitas berikut pelacuran hak suara di berbagai tempat dengan tawaran tegas dari berbagai Parpol ataupun Caleg “Mau Berapa Juta...?” yang tentunya hal ini jadi moment yang paling tepat bagi kaum jelata karena kemelaratan ekonominya, dan bagi para pemuda (termasuk Mahasiswa) disebabkan kebutuhan fasilitas dan modal akademiknya dengan pernyataan tegas dari mereka:

1. Ada uang kami nyontreng, tidak ada uang maka kami Golput.

2. Uangnya yang tertinggi kami contreng, yang lebih sedikit hangus.

Hal inilah yang terjadi sekarang dengan latar Belakang kebutuhan primer perindividu rakyat yang ada pada kubangan kemiskinan yang memang disebabkan oleh perasan para pencuri berdasi ataupun para perampok bersorban (koruptor) maka lahirlah embrio ketidakpercayaan dari rakyat (trauma terhadap masa-masa kemarin (masa lalu) sehingga dengan sangat terpaksa rakyatpun harus memperjual-belikan suara-suara mereka dengan meminjam bahasa ibunda tercinta saya “Choiriyah” visi dan misi Parpol atau Caleg apabila mereka mau dipilih maka janji-janjinya harus di realisasikan pra-pemilihan bukan pasca-pemilihan, Sebab kami tidak butuh lagi dan tidakkan pernah percaya lagi terhadap janji-janji yang realisasinya pasca pemilu.

Kampanye dengan segala tetek-bengeknya sesungguhnya sudah digagas oleh PANWASLU untuk jadi refrensi bagi para Jurkam dan CALEG dari Parpol sebagai kode etik yang tidak boleh dilanggar dalam berkampanye guna menciptakan Budaya politik yang akademis, professional dan arif santun, namun hal itu lagi-lagi menjadi penghuni tetap di dunia harapan, harapan tak selaras dengan kenyataan, tulisan tak sesuai dengan bacaan, konsep tak senada dengan realitas di lapangan, gagasan yang dicetuskan oleh Panwaslu luluh lantak brantakan, terbukti dengan ditemukannya beberapa kasus Money-Politik yang menyebar ke seluruh pelosok negri kita ini, dan di akui atau tidak kitalah sebagai salah satu penikmat dari money-politik itu dan apabila belum maka kita hanya belum mempunyai kesepakatan saja dalam menikmati manisnya money-politik, inilah kondisi riil yang di hadapi bangsa indonesia saat ini yang membangun negara melalui jalur demokrasi, sementara kedewasaan berpolitik dan pendidikan politik sangatlah minim yang dimiliki oleh para figure yang berkecimpung dalam lautan politik praktis, dan rakyatpun belum siap sama sekali menghadapi hempasan lepas kran demokrasi sehingga para figure dan rakyatpun menjadikan money politik sebagai satu-satunya solusi dan jalan tercepat untuk mempercepat menggapai kepentingan mereka.

Dan seharusnya setiap individu yang berada dalam bangsa ini sadar dan harus belajar terhadap PEMILU 1999 atau 2004 dulu untuk mengekspresikan kekecewaan mereka secara actual dan factual serta sistemik dalam pemilu 2009 ini, karena apa yang dicita-citakan pasca-reformasi hingga detik ini dalam pola kepemimpinan penguasa justru lebih konsen dan konsis mengamakan posisi kekuasaannya supaya bertahan tanpa gangguan dari parpol lainnya. Sedangkan para koruptor tetap saja gentayangan, kemiskinan tidak dapat diminimalisir, pengangguran, PHK, bencana, semuanya bak kafilah yang terus melaju, maka dalam kondisi yang serba sulit dan rumit seperti ini “siapa yang tidak butuh uang”…? Inilah salah satu alasan mendasar kenapa money politik sudah membumi di bumi pertiwi tercinta ini.

Kini Pemleg sudah usai, rakyat sudah disibukkan dengan aktifitas masing-masing namun di balik kesibukan itu rakyat selalu pasang telinga dan mata menanti sebuah perubahan iklim kehidupan yang telah dijanjikan oleh para Caleg yang sekarang sudah duduk manis di kursi empuk legislative, rakyat akan menanti janji-janji itu selama kurun waktu 5 tahun, sebuah waktu yang relatif panjang dan membosankan, janji Penyediaan Lapangan Kerja, Pemberantasan KKN, Pendidikan Gratis, Supremasi Hukum, Melunasi Hutang-Hutang Negara, Peningkatan Hasil Panen, Sembakou Murah dan semua janji-janji CALEG yang kemarin mengaung keras mengisi setiap relung di se-antero raya ini namun ia sirna bagaikan cahaya yang diterpa kegelapan yang menyisakan harapan cemas dan elusan dada dengan harapan akankah cahaya itu akan muncul kembali…? Dalam hal ini ikhtiar rakyat melalui ORMAS, LSM, MAHASISWA, berharap mendapatkan akses informasi terhadap kebijakan pemerintahan yang di ambil, lalu di saat seperti ini dimanakah peran dan fungsi para wakil rakyat dan bagaimana pola hubungan mereka dengan rakyat? Mengapa rakyat harus mengadu ke ORMAS, LSM atau Mahasiswa? Bukankah ORMAS, LSM, Para Kyai dan Mahasiswa juga sempat-sempatnya melacurkan diri dalam pesta lepas Demokrasi?

Aah... DPRD, DPR, ORMAS, LSM, MAHASISWA, PARA KYAI sudah tak layak dan tak terpercaya lagi kesucian dan keperawanannya untuk menjadi payung penyelamat rakyat, semuanya sudah terlanjur menjadi penghuni negri lacur, dan ternyata kucing akan tetap kucing, diluar ataupun didalam karung mereka akan tetap menjadikan beras dan jagung rakyat sebagai santapannya.

Dan akhir dari catatanku kali ini hanya satu yang aku tahu: BANGSA KITA BUKAN LAGI BANGSA TERBELAKANG, BUKAN HANYA TERKORUP ATAU TERNODA, TAPI BANGSA KITA SUDAH BERWUJUD BANGSA YANG TERKUTUK! ASTAGHFIRULLAHA AL-ADHZIMA ……

By : Cholest Hendri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar